Seperti Bumi dan Langit Tanpa Tangga

Tidak ada komentar
Aku masih terduduk menancap pada kursi di depan meja belajar. Sedikit demi sedikit dalam waktu berjam-jam, aku kerjakan seluruh pekerjaan editing buku psikologi perkembangan milik salahsatu dosen di kampusku. Sesekali kepalaku terasa naik turun ke atas dan ke bawah, tak sadarkan diri beberapa detik karena mengantuk. Setelah selesai menyelesaikan tugas itu, aku sandarkan kepalaku pada dinding dekat jendela, besebelahan dengan meja kerjaku. 

Zeeeetttttt. Satu jam tak terasa aku tertidur dengan laptop masih menyala. Aku tersadar dan langsung memasukkan data hasil editku ke dalam flashdisk putihku yang baru aku beli beberapa minggu kemarin. Dan transfer file pun selesai. 

Aku melikirik handpone tepat di sebelah laptop. Lcdnya berkedip merah menandakan ada pesan yang masuk. Dan itu dari Firdan, teman tetangga kelasku di kelas B. “dan jadi ngga ke batu kuda”, tanyanya dalam pesan itu. Akupun lalu menjawabnya untuk jadi pergi camping ke batu kuda. Camping kali ini adalah dalam rangka rihlah, atau pelepasan ketua umum salah satu organisasi di kampus yang sebentar lagi lengser dari jabatannya. Karena ini acara ini cukup penting, ketika memang yang di undang dalam acara ini adalah seluruh kader komisariat fakultas dakwah dan komunikasi. 

Akupun langsung mempersiapkan perlengkapan untuk kamping. Carrier, sarung, dan makanan serta minuman. Dan kali ini, aku hendak membawa gitar, agar tidak terlalu sepi saat camping. Tiga puluh menit mempersiapkan diri, akupun langsung meninggalkan rumah dan berpamitan pada nenekku.
Sebelum aku menjembut firdan, sebagai jaga-jaga agar motorku tidak mengalami hal yang tidak diinginkan. Akupun pergi ke bengkel untuk membetulkan salah satu kail penguat rantai yang patah beberapa hari lalu. Aku kira harganya murah, tapi saat kutanyakan cukup mahal juga. Padahal besi yang kuganti tidaklah seberapa besar, hanya sebesar paku ukuran pesar. Tapi untuk keselamatan saat diperjalan itu tidaklah menjadi masalah.

Setelah selesai memperbaiki motorku, kupacu motorku menuju gang manisi, dekat bunderan Cibiru. Gang itu sebenarnya adalah jalan selebar 2 mobil. Jika sore tiba, menjadi tempat favori untuk sekedar nongkrong di warung pinggir jalan penjaja makanan. Kenapa bisa menjadi tepat favorit, karena kalau sore, banyak mahasiswi-mahasiswi yang nge-kos disana, lalu lalang. Ada yang mencari makan, baru pulang kampus, juga jomblowati yang lagi nyari pasangan. Haha

Tak jauh dari pangkalan ojek, aku pakirkan motorku di sebuah mini market. Suasananya ramai sekali, dan berjajar motor terparkir di halamannya. Selang 15 menit, firdanpun terlihat berjalan menuju kearahku dari kejauhan. Akupun segera menjemputnya dan melanjutkan perjalanan.

Seperti biasa, kalau hendak ke batu kuda, aku selalu mengambil jalur jalan sindang reret. Tinggal lurus saja dan tidak banyak kesulitas, alias kemungkinannya kecil untuk kesasar. Jalan terus menanjak, hingga sedikit lagi sampai di lokasi. Tanjakan semakin curam hingga 110 derajat. Tapi alhamdulillah kita sampai di pintu masuk objek wisata perkemahan Batu Kuda Gunung Manglayang.
Rerumputan hijau terhampar luas menanjak di bawah rimbunan pogon pinus yang menjulang tinggi. Hari itu adalah hari sabtu. Sudah dipastikan, lahan perkemahan ramai oleh pengunjung lain yang hendak berkemah. Ada yang pasangan, ada yang sendiri ada juga yang berkelompok. 

Aku dan Firdan langsung mencari rombongan yang lain. Cukup sulit memang menemukannya karena hari sudah mulai gelap, kumandang adzan maghrib pun mulai terdengar sayup-sayup dari kejauhan. “itu bukan ya?” kataku, ketika kulihat beberapa orang samar-samar mukanya, duduk-duduk melingkar sambil saling berbincang.

Perlahan aku dekati mereka, dan memang tak salah dugaanku. Akupun langsung bersalaman dengan mereka. Ada Anan, Bebey, dan beberapa senior yang aku lupa namanya. 

Malampun menjelang, rombongan mulai bersiap-siap memasang api unggun dan memasak. Sedangkan kulihat tenda sudah berdiri kokoh siap menampung kami saat hujan. Karena waktu maghrib sudah hampir habis. Aku dan Firdan pergi ke mushola dekat pintu masuk, berniat untuk Shalat maghrib dan isya. Aku sedikit miris ketika hanya kami berdua yang melaksanakan shalat. Sedangkan yang lain, aku tidak melihat mereka melaksanakan shalat. Hmmmm Selesai shalat, aku dan firdan bergegas pergi ke kemah lagi untuk bergabung dengan mereka. 

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 10.30 malam. Setelah kita menyanyikan banyak lagu, berbincang-bincang sambil menunggu makan malam. Tetesan air hujan mulai turun dari sela-sela pepohonan. Bungkus nasi yang sudah tersusun untuk  makananpun mulai sedikit basah. Karena makanan sudah matang semua, kamipun bergegas menyajikannya di atas bungkus nasi yang tadi sudah disusun. Hmmm, meski hanya asin, tempe dan sambal. Cukup nikmat rasanya.

Setelah selesai makan, hujanpun benar-benar turun dengan derasnya. Kamipun langsung membereskan peralatan dan masuk ke tenda. Deras sekali. Hingga tenda kami yang besarpun akhirnya bocor, tak tahan menahan hujan. 

Sedikit basah dan banjir di dalam tenda, kamipun tetap bersenang-senang dengan menari-nari dan menyanyikan lagu-lagu kekinian, dan ada juga lagu dangdut yang ikut memeriahkan malam yang dingin ini.

Setelah 2 jam lebih. Hujanpun akhirnya berhenti. Rasa kantuk dan jenuh mulai menghampiriku. Kerongkonganku pun tak kuat lagi untuk segera meminum segelas kopi. Di luar tenda yang basah, Ujang seniorku terlihat meriang. Katanya dia sedang migren dan pusing kepalanya. Sedangkan Firdan sibuk dengan handphonenya. 

“ayo kita ke warung”, ajakku pada mereka.
“ayo, aku juga udah ga kuat nih”, jawab ujang menahan badannya yang sedang sakit.

Kami bertigapun berjalan menuju warung, yang berjarak 50 meter di bawah kemah kami. Jalan menurun dan licin, terus kami tapaki. Karena kami bertiga sudah tidak kuat lagi berada di tenda yang basah dan penuh orang.

Sesampainya di warung, aku langsung memesan 2 gelas kopi untukku dan Firdan. Sedangkan ujang lebih memilih langsung tidur di atas dipan warung. Kasihan juga melihatnya, sudah sakit tapi enggan minum obat.

Akhirnya, ku ciumi aroma kopi hitam yang hangat menemani isapan nikmat rokok sampurna kretekku yang sudah tak sabar aku menghisapnya. Karena kalau merokok di tenda, terasa kurang efektif, apalagi tidak ada kopi yang menemani.

Sekedar mengisi waktu, aku dan firdan saling bertukar cerita tentang pengalaman-pengalaman. Khususnya cerita tentang pengelaman dengan yang namanya perempuan. Ya. Tak lupa juga aku ceritakan tentang Hana Nurul Tsara. Cewek yang aku kagumi dan idamkan. Hana adalah teman sekelas Firdan. Tinggi, cantik dan berprestasi di akademik dan dunia musik. Aku sempat iri ketika Hana pergi berlibur ke Jogjakarta bersama Kania, Fadli dan Firdan. 

Lama berselang kami mengobrol. Tiba-tiba terlihat mimik muka firdan sedikit aneh. Ketika aku menceritakan siapa itu Hana. Identitas Hana yang aku hafalkan dari sebuah buku diarynya aku ceritakan seluruhnya pada Firdan. Dan akupun menantang dia, bahwa Hana dan teman-teman lainnya tidak pernah cerita soal ini. Tapi aku mengetahui semuanya, dan Firdanpun setuju atas kebenarannya. Makanya, dia pasti merasa aneh atas pengetahuanku tentang identitas Hana. 

Tapi aku memberitahukan satu hal yang aku belum sempat mengetahuinya. Dan satu hal itu membuat Aku dan Hana bagai “Bumi dan Langit Tanpa Tangga
“Gila, darimana lo tahu semua itu?, dari Opik ya?” tanyanya dengan mimik sangat aneh menatap wajahku. Opik adalah taman sekelasku yang dekat dengan Hana karena tinggal satu Kota dan satu SMA dengannya.
“tidak dari siapa-siapa. Tanyain aja ke orang-orang itu kalau kamu tidak percaya”. Jawabku.

Firdan terus menanyakan dan penasaran darimana asal sumber informasi se detail itu tentang Hana. Dan akupun tetap menjaga kerahasiaan sumbernya, yaitu buku diary tugasnya.

Sudah 2 jam lebih kami saling mengobrol. Rasa kantukpun tak tertahan lagi. aku dan Firdanpun sedikit merebahkan badan di atas dipan. Sambil sesekali meneruskan obrolan. Karena ada jawaban yang belum aku ketahui tentang Hana. Akupun sedikit membuat ajakan hiperbola padanya untuk hana.

“Dan, minggu depan, coba deh ajak hana. Kita pergi ke pasar minggu manglayang, kita makan disana sambil jalan jalan”, kataku.
“Boleh”, jawabnya.
“lo bawa cewek lo. Sedangkan lo ngajak Hana tanpa mengetahui lo bawa cewek lo, dan jangan kasih tahu bahwa gwe ikut juga”, aku meneruskan.
“ok, tapi ada yang perlu lo ketahui tentang dia”, jawabnya dengan serius.
“apaan?”, tanyaku penasaran.

Kini giliran Firdan yang bercerita tentang Hana, yang memang berteman sangat dekat dengannya. Firdan cerita bahwa Hana sedikit ribet soal makanan. Dan juga boros. Dia punya prinsip, meski harganya mahal, dia akan tetap bayar asal makanan atau minumannya enak. Saat di Jogjapun Hana memilih makanan yang cukup merogok kocek firdan. Yang sebelumnya, mereka sempat makan di lesehan murah yang menurut Hana makanannya sangat tidak enak. Sedangkan menurut Firdan, makanannya malah tidak terlalu mengecewakan.

“Dan, berapa sih pengeluaran dia dalam satu minggu?” tanyaku menambahkan.
“bisa sampai 1 juta!”, jawabnya sedikit mengeras suara.

Dahsyat, pikirku. Satu juta untuk biaya dalam satu minggu. Firdan menceritakan, bahwa memang jumlah pengeluaran itu merupakan kewajaran. Karena orangtuanya yang kaya dan memanjakan Hana hingga sekarang. Diapun kos sendiri. Sekali makan itu, bisa sampai 50ribu. Apalagi kalau belanja. Tanpa menawar dia beli semuanya. Karena kata Firdan dia tak pandai menawar harga saat berbelanja.
Untuk tempat dia hang out juga cukup berkelas. Dia kebanyakan hang out ke Mall, caffee, objek wisata terkenal. Jarang bahkan tidak pernah dia pergi ke pasar minggu, pasar tradisional, apalagi tempat kumuh.

Bushyeet. Highclass sekali ni cewek. Sangat tidak dan enggan merakyat.
“beneran Dan? Aslinya?. Jujur, denger cerita lo tadi, gwe jadi ilfeel”, jawabku.

Dalam pemahamanku, apabila cewek itu enggan merakyat hidupnya. Itu cenderung ribet saat hubungan. Kecuali sama cowok yang kaya. Kalau cowok kurang mampu seperti aku rasanya ga mungkin ngimbangin dia yang bergaya hidup glammor itu. 

“dan asli, kalau saja diantara kita ada yang jadian sama dia dan menikah. Kita bakal keteteran. Kecuali dia orangnya baik banget. Karena ketika jadian sama kita yang berekonomi menengah ke bawah. Itu bagai Langit dan Bumi dengannya, hahaha”, jelasku dengan sedikit tertawa.

“tapi Dan, bagi gue. Gue akan sedikit merubah mindset itu. Gwe akan coba. Supaya dia bisa hidup merakyat. Karena hidup itu akan berasa saat kita menjadi rakyat biasa. Makanya minggu depan kita rencanain. Coba dulu. Buat ngajak dia ke Pasar Minggu manglayang”, tambahku.

“oke deh, gwe akan coba. Yang apapun hasilnya yang penting kita sudah mencobanya”, jawab firdan.
Setelah mengobrol panjang lebar dan mengatur strategi. Kita pun terlelap tidur di tengah dinginnya malam di pegunungan. Dan kesamar-samaran suara orang-orang lain yang berkemah di Batu Kuda. Mata sudah tidak kuat lagi, dan. ZZZzzzzzzzz

Pagipun menjelang, aku segera pergi ke mushola untuk melaksanakan shalat shubuh. Memesan dua gelas kopi. Dan langsung menuju rombongan, dan bersiap untuk pulang. Bagiku, untuk acara rihlah sangat mengecewakan. Tidak ada satu halpun kecuali joged-jogedan gak jelas yang aku dapatkan.

Seharunya malam ini ada malam evaluasi kepengurusan. Tapi , sudahlah mungkin mereka memang sengaja tidak membahas itu. Karena terlalu malu atas buruknya kwalitas kepengurusan sekarang.
Waktupun sudah menunjukkan pukul 09.00 pagi. Aku beserta rombongan bersiap untuk pulang. Kembali menuruni bukit dan sampai ke rumah masing-masing.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts